Prie GS
Sebuah angkot, selebor jalannya. Cepat tidak, lambat pun tidak. Di pinggir tidak, di tengah pun tidak. Jika berhenti sesuka hati. Terhadap bunyi klakson yang marah ia seperti tuli. Terhadap akibat atas ulahnya ia tak peduli.
Saya pernah menjadi bagian dari orang yang jengkel itu. Tak cuma jengkel tapi marah. Betapa menyenangkan membayangkan sopir semacam ini diseret untuk kita caci-maki. Kepadanya harus diberi kuliah dan sumpah serapah betapa memakai jalan seenaknya adalah kejahatan.
Pertama ialah karena ia menganggap jalanan umum itu sebagai milik bapaknya. Kedua karena ulahnya bisa menimbulkan kemacetan. Ketiga karena kecerobohannya bisa menimbulkan kecelakaan. Tiga kejahatan sekaligus. Tapi paling menyedihkan adalah kejahatan keempat: bagaimana mungkin orang yang sudah begini jahat sama sekali tidak menyadari kejahatannya.
Maka adalah lebih menyenangkan lagi membayangkan orang itu diseret tidak sekadar untuk dicaci maki, tapi sudah layak dikeroyok ramai-ramai. Dihajar hingga kapok, dipaksa minta ampun dan meratapi dosanya. Membayangkan wajahnya yang takut dan kalah tentu akan menjadi kegembiraan. Maka untuk bisa membuat bayangan itu lebih nyata, angkot yang tengah berhenti sembarangan untuk mencari penumpang itu harus disalip, wajah sopir itu harus dilihat seutuhnya.
Hanya setelah wajah itu tertangkap, sejarah terpaksa harus berubah. Sopir itu ternyata tak lebih dari lelaki kecil, hitam, kusut dan kosong pula pandang matanya. Klakson yang hiruk-pikuk menghardiknya, bahkan tak sanggup mengatupkan mulutnya yang menganga. Sikap mulut yang menggambarkan betapa otak lelaki ini memang sedang kosong, terbang entah kemana.
Wajah itu pula yang memaksa saya menengok angkot tuanya dengan penumpang seorang saja. Dari jumlah penumpangnya, lalu terbayang berapa anak di rumahnya, berapa biaya sekolahnya dan apakah pendapatannya sebagai sopir cukup untuk menutup itu semua.
Imajinasi ini lalu bereskalasi, membesar sendiri. Pastilah di kampungnya, sopir ini juga sering diundang kondangan sambil menyumbang tatangga serta kolega. Dan undangan itu pasti tidak cuma satu atau dua, tapi bisa tiga, empat, lima... dan seterusnya. Dan ia pun pasti menyumbang dengan kepantasan. Bisa berlebih tapi jangan berkurang dari ukuran kewajaran.
Di sekolah, anak-anaknya pastilah juga anak-anak seperti pada umumnya yang harus bersepatu dengan merek seperti yang lazim dipakai teman sebaya. Sekolahnya pun pasti sekolah pada umumnya yang harus mengenal beli buku, bayar SPP dan uang saku. Karena Indonesia memang negeri umum. Artinya, keadaan orang tua boleh berbeda tapi anak-anak mereka harus menghadapi beban dan godaan yang sama.
Jadi yang boleh berbeda hanya soal status dan pendapatan orang tua saja. Bahwa jika sopir ini cuma mendapat sebegini adalah lumrah adanya. Bahwa jika pejabat itu mendapat sebegitu adalah cocok dengan ketinggian jabatannya. Engkau memang boleh berbeda tapi anak-anakmu tidak. Karena mereka bisa bertemu di sekolah yang sama dan menghadapi dunia yang sama. Apapun jenis penghasilanmu tak bisa mencegah laju pengaruh bagi anak-anakmu. Tak peduli apapun pebedaan statusmu, anak-anakmu bisa melihat iklan gaya hidup di televisi bersama, bisa sama-sama menonton sinetron Opera SMU yang ngetop tapi dituduh jiplakan itu.
Jadi, pantas saja jika sopir angkot itu kosong tatap matanya. Pantas saja jika hujan klakson tak dia dengar dan kemarahan itu tak ia rasa. Karena tekanan jalan raya itu ternyata pasti kecil saja dibanding tekanan hidupnya. Yang keliru akhirnya kita juga yang kerap menuntut orang-orang tertekan itu agar berbuat mulia. Sebagai penonton dari kejauhan, tuntutan kita kadang memang sering keterlaluan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar